Masalah Penegakan Hukum HAM di Indonesia

  “suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu: pemberontakan!”― wiji thukul

    Tidak hanya Wiji Thukul saja yang tidak diketahui keberadaannya hingga sekarang, masih ada beberapa 12 aktivis lainnya. Beberapa di antaranya, Petrus Bima Anugrah (mahasiswa Universitas Airlangga dan STF Driyakara, aktivis SMID), Suyat (aktivis SMID), dan Dedi Hamdun (pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang). 

  Beberapa nama di atas merupakan salah satu contoh dari banyak kasus yang memperlihatkan bahwa penegakan HAM di Indonesia belum terlaksanakan dengan baik. Tentunya masalah ini menjadi permasalahan yang patut menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Masalah HAM ini merupakan tantangan di masa depan bagi seluruh masyarakat Indonesia khususnya generasi muda untuk mencegah hal ini terjadi lagi, sekaligus memperjuangkan hak-hak mereka yang direnggut secara paksa oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

    Menjawab permasalahan ini, konsep VUCA dapat dijadikan landasan teori untuk menjawab tantangan ini. Di blog ini, saya akan memaparkan implementasi konsep VUCA khususnya menjawab tentang penegakan hukum HAM di Indonesia.

Sebelumnya, saya akan menjelaskan sedikit tentang VUCA,


VUCA diartikan sebagai tantangan masa depan. VUCA adalah perspektif yang dapat membantu kita memahami tantangan yang akan kita hadapi. VUCA ini merupakan singkatan dari empat huruf yang masing-masing memiliki makna yang berbeda.Secara umum, VUCA berkaitan dengan cara orang melihat kondisi saat membuat keputusan, merencanakan, mengelola risiko, mendorong perubahan, dan memecahkan masalah. 

V diartikan sebagai Volatility, yakni suatu hal yang berubah secara tiba-tiba dan fluktuatif.

U diartikan sebagai Uncertainty di mana konsep ini memaparkan suatu hal yang tidak reliable, tidak diketahui, dan apabila diketahui, informasi tersebut tidak lengkap sehingga gambaran besarnya menjadi tidak diketahui. Singkatnya, U ini menggambarkan ketidakjelasan suatu akar permasalahan yang terjadi.

C ini diartikan sebagai Complexity yakni keterhubungan (interconnectivity) setiap komponen dengan komponen lainnya dalam suatu sistem. Maksudnya ialah adanya akibat dari sebuah permasalahan di berbagai bidang yang terkait di dalamnya.

A diartikan sebagai Ambiguity, yakni suatu hal yang memiliki banyak makna, sehingga terdapat banyak kemungkinan yang ada.

Bagaimana konsep VUCA ini dapat menjawab tantangan pengakan HAM di Idonesia?



    Berdasarkan KOMPAS.com, Tragedi Trisakti terjadi pada tanggal 12 Mei tahun 1998 di Kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Utara, saat mahasiswa melakukan demonstrasi menentang pemerintahan Soeharto. Tragedi ini terjadi secara tidak terduga, dilaporkan beberapa mahasiswa terbunuh, ratusan lainnya terluka, dan sejumlah orang dinyatakan hilang keberadaannya. Hal ini menunjukkan aspek volatility yang terjadi di permasalahan ini.


    Selain Tragedi Trisakti, Pembunuhan Munir juga merupakan contoh yang sama seperti Tragedi Trisakti. Munir Said Thalib adalah seorang aktivis HAM. 
Ia telah banyak melakukan pembelaan hukum pada orang-orang tertindas.Salah satunya adalah menjadi pembela keluarga korban penculikan paksa yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998.Munir juga merupakan pengkritik pemerintah yang berkuasa saat itu.Di tahun 2004, Munir ditemukan tewas dalam pesawat yang menuju Amsterdam.Hasil autopsi yang dilakukan oleh tim forensik Belanda menemukan adanya senyawa arsenik dalam jasad Munir.Hasil ini mengindikasikan bahwa aktivis HAM ini sengaja diracun oleh pihak tertentu yang bermaksud menyingkirkannya.

    Aspek selanjutnya adalah uncertainty. Berdasar pada beberapa peristiwa yang telah terjadi, sebagian besar memiliki informasi yang cenderung sedikit atau sama sekali tidak ada. Hal ini terlihat dari nama-nama korban yang hilang atau meninggal tanpa ada kejelasan mengenai penyebab terjadinya peristiwa tersebut. Selang waktu antara waktu kejadian dan kejelasan tentang kasus-kasus tersebut pun sudah tergolong lama, bahkan tidak diketahui kapan akhirnya pihak-[ihak terkait dapat memberikan kejelasan terhadap orang-orang atau kerabat terdekat korban. Tentunya, ada dampak trauma tersendiri yang dialami keluarga ataupun kerabat dekat korban yang perlu dikhawatirkan, bukan hanya untuk segelintir masyarakat tapi seluruh masyarakat Indonesia.


    Di aspek complexity sendiri, dapat diketahui bahwa hampir semua kejadian pengambilan HAM secara paksa memiliki campur aduk dengan berbagai bidang dan pihak lainnya. Ada oknum yang memiliki kuasa untuk menutupi dan memonopoli sehingga banyak kasus yang sampai saat ini belum terpecahkan. Dilihat dari pandangan lainnya juga, oknum tersebut memiliki berbagai koneksi ke bidang-bidang tertentu yang berperan besar dalam penyebaran informasi, sebagai contohnya, media massa. Tidak hanya media massa saja, para aparat penegak hukum juga memungkinkan untuk membantu oknum tersebut untuk melakukan tugas nya. Tidak menutup kemungkinan oknum tersebut memiliki koneksi yang sangat luas sehingga dugaan-dugaan ini hanyalah kemungkinan kecil dari kenyataan yang sebenarnya terjadi.

    Aspek terakhir adalah ambiguity. Di aspek ini, dijelaskan bagaimana suatu peristiwa tersebut memiliki makna yang banyak atau tidak jelas kemungkinannya. Seperti yang dibahas sebelumnya, peristiwa-peristiwa tersebut tidak jelas informasinya sehingga sangat sulit untuk mendefinisikan kejadian sebenarnya ataupun sekedar mengetahui kebenarannya.

Lalu, bagaimana sikap kita dalam menghadapi tantangan untuk menegakkan hukum keadilan HAM di Indonesia?


    Pertama, kita perlu memiliki keterampilan untuk dapat menghadapi tantangan masa depan. Melihat hal itu kita perlu memerhatikan tiga aspek penting, yakni sensemaking, decision making, dan getting critical. Sense making merupakan pentingnya kita mempunyai sense terhadap lingkungan yang ada di sekitar. Decision making memiliki makna bahwa kita perlu dapat mengambil keputusan. Tentunya keputusan yang kita pilih perlu dipertimbangkan lebih matang lagi agar kita dapat beradaptasi di masa depan dengan permasalahan yang tentunya akan lebih sulit dan kompleks lagi. Getting critical adalah kita perlu bersikap kritis dalam menghadapi apapun. Terutama sebagai mahasiswa, critical thinking ialah hal yang wajib untuk dikuasai.

    Keterampilan atau skills dapat diimplementasikan dengan cara terus berujuang untuk menyuarakan penegakan keadilan HAM sebagai mahasiswa sendiri. Sebagai mahasiswa, kita harus lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan dalam skala yang lebih kecil seperti di lingkungan kampus. Untuk skala yang lebih besar, sebagai mahasiswa yang berpendidikan dan berani untuk menyuarakan keadilan, banyak hal dan kegiatan yang dapat dilakukan untuk membantu masyarakat yang sekiranya perlu bantuan. Aksi Kamisan merupakan salah satu aksi yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa yang menyuarakan ketidakadilan berhubungan dengan Tragedi Trisakti dan sudah 20 tahun aksi itu masih berlanjut.


    Kedua, kita perlu memiliki insight atau pengetahuan mengenai peristiwa ketidakadilan penegakkan HAM di Indonesia. Selain itu juga kita perlu mengetahui arti HAM itu sendiri dan apa saja bentuknya. Dengan mengetahui dasar-dasar teori tentang HAM di Indonesia, kita memiliki wawasan untuk tetap menjaga keadilan HAM di masa depan. Pentingnya kita, mahasiswa, untuk terus belajar dan menambah wawasan adalah dengan memperkecil kemungkinan terjadinya hal yang sama di masa depan, dengan artian lain, menjawab tantangan ini di masa depan.

    Ketiga, kita perlu memiliki traits atau sifat yang harus dimiliki untuk menghadapi tantangan di masa depan. Sifat yang pertama ialah growth-mindset, yakni pola pikir yang harus selalu berkembang karena pola pikir inilah yang menjadikan seorang mahasiswa dapat didengar suaranya. Yang kedua ialah always be learning, yakni selalu belajar. Jadikanlah semua pengalaman yang kita lalui sebagai pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik bagi kita kedepannya sehingga kejadian buruk yang sudah terjadi tidak terulang lagi di masa depan. Terakhir ialah anti-alpha, yakni tidak menjadi ‘pakar’ sendirian, tapi berkoneksi dan bekerja sama dengan pihak lain. Sebab, untuk melihat suatu masalah, diperlukan berbagai perspektif dan pemikiran agar bisa berkolaborasi dan mewujudkan kesatuan untuk negeri ini.

21 September 2020

Daffa Zahid farturrachman

#TantanganMasaDepan #DuniaVUCA #OSKMITB2020 #TerangKembali
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Story About My Life